Rabu, 23 Maret 2016

juwana itu kotaku




Jembatan Juwana
Uploaded by 
Jembatan merupakan satu struktur yang dibuat untuk menyeberangi jurang atau rintangan seperti sungai, rel kereta api ataupun jalan raya. Ia dibangun untuk membolehkan laluan pejalan kaki, pemandu kenderaan atau kereta api di atas halangan itu.Nah jembatan akan saya bahas jembatan di JUWANA,disini jembatan ada dua dan sekarang jembatan juwana yang lama baru di banggun dan otomatis semua pengguna sarana jembatan tertuju satu pintasan yaitu jembatan yang satunya.
pasfmpati.com (Pati, Kota) - Untuk mengurangi kepadatan arus lalulintas dan beban dijembatan Juwana yang melintas diatas Sungai Silugonggo, tahun ini pemerintah segera membangun jalan dan jembatan Juwana 1. Rencananya pembangunan jalan danjembatan tersebut, menggunakan alokasi anggaran dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2012.
Rencana pembangunan jembatan baru itu, dengan kontruksi beton bertulang dengan tiang pancang. Lokasi pembangunannya, berada disebelah selatan dari jembatanJuwana. Dilokasi itu, sekarang ini masih membentang jembatan rangka baja turut Desa Bumirejo Kecamatan Juwana.
Dengan panjang 93 meter, dan penanganan jalan untuk melintas ke jembatan itu sepanjang 900 meter. Rencananya peruntukkan jembatan ini bagi kendaraan yangmelintas dari arah Surabaya menuju ke Semarang,” kata Ir Purwadi MM yang juga Plt Kepala Disbudparpora Kab Pati.  
Rencana pembangunan jembatan baru tersebut, untuk mengurangi beban serta mengurangi kepadatan arus lalulintas di jembatan Juwana yang masih berfungsi sekarang ini.Dalam pelaksanaannya nanti, belum ada rencana terkait pembebasan tanah milik warga. Karena untuk pembangunan jembatan dengan lebar 7 meter itu, masih menggunakan bekas jalan yang lama.

Memperkenalkan Juwana

SEJARAH SEDEKAH LAUT DESA BENDAR JUWANA PATI


SEDEKAH LAUT


Sedekah laut, ya begitulah sebutannya untuk acara syukuran di sebuah desa kecil tapi sejahtera. Namanya desa Bendar hehe,,, namanya dah heboh kali ya Bendar, atau bandar, ups,,, bandar apaan ya???,, yang pasti bukan bandar judi ya,!, bandar kapal mungkin.. ok lanjut.







Untuk lebih tepatnya langsung goes aja ke: SINI!!!


Di tengah udara panas perkampungan yang berbatasan dengan laut, kolam renang itu terasa maknyus. Desa itu bernama Bendar. Diapit Laut Jawa dan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg), bersisian dengan Sungai Juwana. Di desa ini, bayangan tentang kampung nelayan seperti yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya, Gadis Pantai, seperti kehilangan jejak.

Di buku itu, Pram menulis kemiskinan desa nelayan di Rembang yang persis berbatas dengan Juwana, ”Dia (kampung) pun tidak berubah. Atap-atap rumbainya tak ada yang baru.”

”Tahun 80-an, desa kami memang masih seperti itu. Rumah- rumah masih kumuh dan masyarakat masih miskin,” kata Sariyani (67), nelayan Bendar. Sariyani mulai melaut sejak tahun 1952 dengan perahu layar. Kini, Sariyani memiliki tujuh kapal, masing-masing berbobot di atas 100 gross ton. Harganya lebih dari Rp 1 miliar per unit.
Sariyani contoh nelayan Bendar yang sukses memulai usaha dari nol. Kisah serupa dituturkan nelayan Bendar lainnya. Tengoklah Bendar kini. Tak tercium bau selokan. Hanya bau amis laut yang samar-samar. Selebihnya, udara segar menguar dari rimbun tanaman di depan rumah gedongan, bersisian mobil-mobil keluaran terbaru.
Di Sungai Juwana, kapal-kapal ditambatkan. Salah satunya milik Bambang Wicaksana (46). Kapal berbobot di atas 100 GT itu tengah dimodifikasi dengan menambah alat pembeku (freezer) dan tiang penarik jaring. ”Sasaran tangkap kami sekarang ZEE (zona ekonomi eksklusif),” kata jebolan Universitas Gadjah Mada ini.

Kehidupan nelayan mulai membaik ketika pemerintah mengeruk Sungai Juwana tahun 1980-an. Sebelumnya, pelumpuran sempat mematikan Juwana, yang dua abad lalu merupakan bandar dan pusat industri galangan kapal pantai utara Jawa, selain Rembang dan Lasem.
Dengan ramainya kapal ke Sungai Juwana setelah pengerukan itu, industri pengolahan ikan pindang marak. ”Pernah dalam setahun omzet tangkapan nelayan di sini mencapai Rp 140 miliar,” kata Saryani.
”Saya pernah ke Desa Bendar di Juwana, kaget juga melihat nelayan makmur. Tapi, saya belum tahu persis apa yang membuat mereka sejahtera,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan Ali Supardan.
Mungkin banyak orang yang sulit percaya ada nelayan makmur di negeri bahari yang tidak menghargai lautnya ini!
Menurut Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria, dari dua juta nelayan, 70 persen berkategori miskin.

Menopang pertanian
Kesuksesan Bendar ternyata meluber ke luar desa. Ratusan petani di sebelah selatan Jalan Raya Pos bergantung kepada nelayan Bendar. Begitu musim tanam lewat, mereka berbondong-bondong ke Bendar untuk melaut. ”Hampir 90 persen awak kapal di sini petani,” kata Hadi Sutrisno (29), nelayan dengan empat kapal. Dia lulusan Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro. ”Untuk modal tanam, kami biasa menjadi anak buah kapal (ABK). Hasil bertani hanya cukup untuk makan, sering kali kurang,” kata Jarpan (32), petani dari Desa Tunggul Sari, Kecamatan Kaliori.

Sejak tahun 1980-an, seiring lonjakan ekonomi Bendar, desa ini mulai kekurangan awak kapal. Hampir semua nelayan di sini memiliki kapal sendiri. Bahkan, ada yang punya hingga 11 kapal. Satu kapal rata-rata membutuhkan awak hingga 10 orang.

Di kedai kopi, di tepi Sungai Juwana, Zuhdi (47) menegaskan, kelebihan nelayan Bendar adalah mereka mempunyai sifat tidak mudah menyerah. Nelayan Bendar juga tidak berfoya-foya. ”Sejak dari menjadi ABK, kami berhemat agar dapat membeli kapal sendiri,” ujar Zuhdi.
Zuhdi tidak membual. Ia mengisahkan perjalanan hidupnya sendiri. Lelaki yang tak tamat sekolah dasar itu hanya bisa tanda tangan, tapi tak bisa baca-tulis. Zuhdi mesti memulai dari nol. Bermula dari tukang bersih lantai kapal, lima kapal dimilikinya.
Kini, Zuhdi membangun dua rumah mewah bertingkat untuk dua anaknya. Ketika nelayan di tempat lain mulai tiarap pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Zuhdi malah membuat perahu 80 GT untuk memperkuat armadanya.
Zuhdi menambahkan, ekonomi nelayan ditopang peran perempuan yang ikut bekerja. ”Mereka yang biasa menjual hasil tangkapan. Sisanya diolah menjadi ikan pindang,” katanya.
Hubungan kekerabatan sangat kental di Bendar. Nakhoda dan kepala kamar mesin rata-rata memiliki hubungan saudara dengan pemilik kapal. Sistem ijon tak dikenal, yang ada bagi hasil. Nakhoda dan krunya kebanyakan memiliki saham di kapal yang mereka operasikan. Dengan sistem ini, tak ada lagi kemiskinan struktural di Bendar. ”Dengan hubungan kekerabatan ini dan pembagian saham, kemungkinan penjualan hasil tangkapan di tengah laut jadi tipis. Kita kerja saling percaya,” ujar Bambang.
Hampir 70 persen dari 700 keluarga nelayan di Desa Bendar adalah pemilik kapal. Di Bendar, bayangan suram tentang nelayan kehilangan jejaknya....
(sumber: kompas.com ,Sabtu, 23 Agustus 2008)


hehehe,,,!!!
banyak ya tulisannya,,, dikit kopas sih.!!!

Sedekah Laut Desa Bendar Juwana Pati

Pada bulan syawal tepatnya seminggu setelah Idul fitri pasti akan di adakan acara sedekah Laut, yang biasanya akan diselenggarakan pada hari minggu kecuali minggu wage. Budaya ini adalah sebuah kebiasaan, traktat dan adat peninggalan jaman Hindu Budha, contoh sajen (sesaji). Saat sedekah laut warga pun membuatkan sajen untuk di larungkan ke laut.Tahun -1990 setiap warga yang mempunyai alat tangkap pasti membuang sajennya masing- masing, yang berisi telur dan kembang telon yang lengkap dengan maejan. Akan tetapi acara tersebut sekarang di formalkan dengan mengadakan larung sesaji, dimana semua sajen warga akan di wakilkan menjadi satu Larung sesaji di wujudkan oleh pemerintah desa yang dikemas dalam bentuk jodang sesaji berisi ndas kebo atau ndas wedhus (kepala kerbau atau kepala sapi) beserta 4 kakinya, kembang telon lengkap dengan maejan, serta degan yang dikrowoki (dilubangi) sedangkan dalamnya diisi dengan gula jawa. Ada dua Jodang yang di buat, jodang pertama untuk di larungkann kelaut dan yang kedua di kirab bersama hiburan-hiburan misalnya drum band. Tanggapan (tontonan atau hiburan) yang wajib saat sedekah laut ada tiga yaitu Barongan, Ketoprak, dan lomban. Sajen yang kedua setelah di kirab, akan di jadikan batas akhir dari lomban, maksudnya adu balap perahu untuk memperebutkan entok, siapa yang paling banyak mendapatkannya maka itu pemenangnya. Bahkan kata orang lomban itu di saksikan langsung oleh Nyi Roro Kidul.
Lomban di laksanakan di sungai juwana yang di kenal sebagai Bengawan Silugonggo. Masyarakat menyebut seperti itu karena sungai Silugonggo tidak pernah kering, sebenarnya Bengawan itu memiliki larangan, yaitu tidak boleh dikilani (di ukur) dan disombongkan karena itu akan menimbulkan peristiwa yang tidak diinginkan. Contoh dulu pernah diselenggarakan lomba menyebrangi bengawan silugonggo dengan tali yang diikat dari etan sampai kulon kali (timur sampai barat sungai) dan akhirnya tali tersangkut di tiang sehingga banyak korban yang berjatuhan itu dikarenakan sudah berani ngilani bengawan tersebut. Peristiwa itu tepat pada hari minggu wage, itu alasan kenapa sedekah laut tidak boleh dilakukan pada minggu wage. 
Karena tidak ada tokoh atau patokan yang jelas maka acara itu selalu berkembang, seperti halnya kirab sesaji yang terus berkembang dengan menyertakan drum band sedangkan orang yang mengikuti prosesi mengenakan pakaian adat pati.



Antusias warga sangatlah besar bahkan bukan hanya warga Desa Bendar saja, banyak warga dari desa lain berbondong-bondong ikut merayakan dan menikmati acara yang berada di Bendar. Saat terlontar pertanyaan “ jika Sedekah Laut tidak ada bagaimana pendapat kalian...?”, maka banyak warga yang menjawab acara itu harus ada karena itu sudah di adakan sejak zaman dahulu. Berarti dapat di simpulkan bahwa masyarakat Desa Bendar Juwana Pati mempunyai ketakutan tersendiri jika Sedekah Laut di hapus dari desa mereka.

lastri punya cerita



Pagi, sebagaimana biasa, matahari terbit di ufuk timur. Lalu langit disepuh warna-warna sejuk, burung-burung liar bernyanyi. Angin mendesir. Pohon bambu gemerisik, beberapa helai daunnya rontok, berputar sebentar di udara, hingga akhirnya jatuh ke tanah. Hari anyar baru di mulai. Adalah Lastri, kembang desa Watu Gunug, yang sepagi itu telah selesai mencuci pakaiannya di kali, dan termenung di tepian, di atas sebuah batu. Rambut basah sepinggang ia biarkan tergerai, mengurai bahu kuning langsat yang hanya mengenakan kemben sedada. Seperti biasanya, ia menanti mentari meninggi, hendak mengeringkan rambut. Namun rupanya tak cuma itu, kerutan-kerutan panjang di kening dan bola matanya yang tampak sendu, walau tak mengurangi keayuannya membuktikan ia sedang di landa kegelisahan. Gundah hatinya. Layaknya gadis-gadis seusianya, ia ingin merasakan kebebasan hidup. Gadis-gadis desa yang pagi ke sawah mengantarkan sarapan, senja belajar menari, dan malamnya bercengkrama di balai desa bercerita kejadian yang telah mereka lalui seharian. Tapi, semua baginya adalah suatu yang mustahil. Ia tidak boleh bertingkah seperti gadis-gadis kebanyakan. Ia kembang desa yang harus bisa bersikap. Ki Suriamenggala, sesepuh desa yang bertanggung jawab akan kelanggengan desa Watu Gunug menyerahkan semua kebutuhan ‘kembang desanya’ itu ke tangan Rusmini. Wanita tua yang sudah terbiasa mengurusi gadis kembang desa sebelum di ambil oleh lelaki kaya yang akan mengawininya. Adalah suatu adat yang berlaku selama berpuluh-puluh tahun. Setiap gadis tercantik di desa itu harus bisa membawa nama baik desanya. Seperti Lastri saat ini, gadis yang di harapkan bisa meneruskan jejak pendahulu-pendahulunya. Padanya wibawa desa ini diletakkan. Desa yang di pandang sebelah mata, waktu itu ialah desa yang tak memiliki kembang desa dan tak punya banyak harta. Sedangkan desa Watu Gunug, punya gadis secantik Srikandi. Dengan kecantikan, ia bisa mendapatkan lelaki yang kaya raya. Jika demikian, martabat desa akan terangkat. Dan tak lagi di pandang sebelah mata. Bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi desa yang paling disegani. Oleh karenanya Lastri di larang melakukan perbuatan yang menjadikan citranya rendah. Sehari semalam, ia hanya mendapat izin keluar sekali, saat mencuci dan mandi. Itupun di tempat yang telah di khususkan, berada di lereng yang sunyi, selainnya, ia harus diam di rumah. Taklah heran di buatnya, bila sedang mencuci di kali hingga matahari meninggi ia baru beranjak dari tempat duduknya. Kemudian berjalan dengan lesu menuju rumah, membawa Tenggok yang penuh dengan cucian. Saat itu, di jalanan menanjak di antara pohon-pohon bambu dan di bawahnya aliran kali mengalir. Berpapasan dengannya seorang pemuda. Ia mencoba bertanya, “Siapa namamu?” tanyanya lembut. “Harya Udayana…”. Pemuda itu banyak mendengar kabar tentang wanita tercantik itu. Yang memang benar-benar sangat cantik. Namun tak sedikitpun ia berhasrat untuk ikut-ikut ingin mengawininya. Sudahlah tersebar syarat-syarat lelaki yang akan menjadi jodoh Lastri, dan syarat itu tidak ada padanya. Karena itulah sedikitpun, kecantikan itu tak berpengaruh padanya Kembang desa, wanita yang di anggap suci. Tidak di perbolehkan pemuda berlama-lama berdua dengannya, Jika tak ingin di cap sebagai pemuda tak tahu malu, amoral, dan pemuda bejat, lebih baik segera menghindar dan menjauh. Tahu demikian, Harya bergegas pergi tanpa merdulikan tatapan Lastri yang sebenarnya mengharap bisa bicara banyak dengannya. Baginya Lastri hanya mimpi yang indah sesaat lantas kemudian lenyap begitu saja. Lastri pulang sambil sesenggukan, meratapi nasibnya. Ia lebih rela menjadi wanita biasa dengan kecantikan pas-pasan sekalipun, daripada keadaannya saat ini. Sangat menyakitkan. Seorang gadis berparas ayu, tapi tak ada pemuda yang menghargainya apalagi segera melamarnya. Persoalannya hanya satu, ia hanya akan berjodoh dengan lelaki kaya, sedangkan pemuda-pemuda di desanya tidaklah dari orang berada, mereka kebanyakan seorang pekerja, serabutan. Karena itulah, satu persatu pemuda di desanya yang semula ingin menjadikannya isteri menyerah dan menjauh. Membiarkannya harus menahan sedih setiap harinya. Kini hari-harinya hanyalah tangis, duka.*** Musim kemarau tiba, desa Watu Gunug mengalami kekeringan. Kali yang biasanya tumpah ruah dengan air, kini kosong. Tanah-tanah sawah kering, pecah, matahari terik dan angkasa bersih dari awan. Saat seperti itu seorang pemuda tampak tengah sibuk menimba air di sumur, tangannya cekatan mengisi ember-ember kosong antrian yang panjang. Termasuk di dalam antrian itu, Ratna Permanasari, adik Lastri. Saat sampai pada gilirannya, mereka berdua bercakap, saling kenal. “Boleh aku tahu siapa namamu?” Tanya pemuda itu. “Ratna permanasari”. “Harya Udayana”. Pemuda itu adalah Harya Udayana, pencari kayu bakar yang tinggal di lereng Meru, desa Ratus, sebelah selatan desa Watu Gunug. Sejak kecil ia hidup di lereng itu bersama seorang kakek, lelaki sepuh yang menjadi teman sekaligus orang tuanya. “Di mana tempat tinggalmu?” Tanya Harya lagi “Di perbukitan rumpun bambu jalan menanjak itu…” jawabnya sambil menunjuk arah yang tampak atap rumahnya. “K…enapa kamu mau mengisikan ember-ember kami, padahal kau kan tidak di bayar??” tanya Ratna balik setelah tak tahan dengan rasa penasaran dan kagumnya. “Kebetulan saja aku paling muda di antara mereka semua, tenagaku lebih kuat. Hanya itu saja…”. Pemuda menjawab, lantas diam kembali, sibuk mengisi ember-ember lain. Tak sadar jika mata Ratna selalu menatap gerak-geriknya, peluh-peluh yang merembesi keningnya, juga dengus nafas yang terdengar berat. Kelelahan. “Aku senang bersahabat denganmu, lain kali mainlah kerumahku… ” ucap Ratna sebelum balik pulang kerumah. Harya tak menjawab, hanya mengangguk, tanda menyetujui permintaan itu. Tampaklah keceriaan di wajah Ratna, sepanjang jalan senyum-senyum kecil menghias disudut-sudut bibirnya. Pun saat ia sampai di halaman rumah, sedang Lastri, sedang menyisir rambut memergoki keanehan yang terjadi pada adiknya itu bertanya. “Tampak kau sedang di landa bahagia, ada apa?”. “Aku tadi bertemu seorang pemuda yang….” Belum sempat ucapannya sempurna selesai, Lastri telah menarik tangannya untuk masuk ke bilik tidurnya. “Cerita di kamar saja, jangan sampai tahu oleh bibi…” Lastri berucap demikian, sambil melepas paksa ember yang belum di taruh di tong-tong air. Mereka berhambur masuk ke bilik Lastri. Duduk berhadapan pada sebuah kursi Jati. “Lanjutkan ceritamu…” pintanya. “Pemuda itu belum aku temui sebelumnya, aku kira ia bukan warga desa ini, prilakunya santun, dadanya bidang, ia gagah, wajahnyapun tampan …” Ratna diam, melihat reaksi saudaranya, yang masih serius menyimak ceritanya. “Lantas?”. “Ia menanyakan nama dan tempat tinggalku, semua yang keluar dari mulutnya terasa berbeda. Amat aku rasakan bahwa ia memiliki daya tarik yang kuat. Terutama matanya yang tajam…”. “Kau bilang tadi ia bertanya namamu, bagaimana denganmu. Tak kau tanya siapa namanya dan tinggal di mana?”. “Oh…namanya Harya Udayana. Tapi aku lupa tak menanyakan di mana tempatnya”. Berubah paras Lastri mendengar nama yang disebut adiknya barusan. Harya Udayana, berarti pemuda yang berpapasan dengannya sewaktu ia pulang mencuci dari kali. Ia pun percaya jika pemuda itu gagah, juga tampan. Tapi kenapa saat bertemu dengannya pemuda itu besikap seolah-olah tak berminat sama sekali padanya. Tak tanya tinggal nama, apalagi bertanya tempat tinggal. Tak tahu dengan apa yang dirasakannya saat ini, ada cemburu, merasa tersaingi oleh adiknya. Ia kalah dengan adiknya. “Kamu menyukainya Ratna?”. Ratna tersenyum manis di sudut bibirnya yang semakin mempersakit hati Lastri. Tampak oleh kakaknya ia semakin cantik. Ia lebih dewasa. Ah…kembali Lastri teringat nasibnya sebagai kembang desa. Ia muak, ia merasa bagai dalam penjara. Kadangkala ia ingin membunuh diri dan membiarkan saja desa ini berubah sendiri. Tanpa tergantung dengan kembang desa. Juga berharap dari lelaki tetangga desa atau manapun yang akan melamarnya. “Mungkin…” jawaban yang keluar dari mulut adiknya semakin membuatnya terbenam dalam kesedihan. ***Beberapa hari setelah mereka bertemu di sumur, saat bedug desa di tabuh, pertanda waktunya pulang bagi yang menyawah. Pulang juga Harya dari kerjanya mencari kayu. Memikul kayu bakar yang akan ia jual ke warga yang membutuhkan. Berkeliling desa ia menjual kayu bakar. Berteriak menawarkan kayunya. Hingga sampailah ia di rumah Ratna, bimbang, apakah harus juga ia menawarkan kayu bakar kerumahnya? Padahal rumah itu tampak sepi. Saat ia beranjak hendak melewati saja rumah itu seseorang memanggilnya, “Harya…” Harya berbalik. “Ratna…” balasnya. Ratna mengajaknya mampir ke rumah. Duduk mereka di beranda rumah. “Istirahatlah sebentar, aku ambilkan minum dulu”. Ucap Ratna kemudian sambil beranjak masuk ke dalam rumah. Tak berselang lama, Ratna keluar sambil membawa minuman dan sepiring pisang. Duduk ia di samping Harya. Beberapa saat mereka hanya diam, tak tahu harus memulainya dari mana. Hanya mata Ratna yang tak lelah selalu menatap bulir-bulir keringat di kening Harya. Ia ingin mengusap keringat itu dengan sapu tangannya. Ingin ia melepas baju Harya dan mengipasi tubuhnya hingga pemuda itu merasa nyaman dan segar. Ingin ia besandar di dada bidang itu sambil memainkan jari-jari Harya. “Ratna, di mana ayah ibumu? tanya Harya “A…da di dalam. Sedang istirahat, ada apa kang?”. “Oh, Aku hanya tidak mau kedatanganku ke sini berbuah omong-omong warga yang tidak menenangkan hatimu….”. “Tidak kakang, malahan aku merasa senang sekali bisa bertemu dengan kakang. Ayah dan ibu tidak akan marah”. Harya menghela nafas, tak tahu maksudnya apa, hanya saja tampak ia lega dengan jawaban dan keyakinan Ratna. “Kenapa kau senang dengan kedatanganku?” Harya bertanya. Padahal pertanyaan itu tak mungkin bisa di jawab dengan kata, Pertanyaan yang hanya bisa di jawab dengan hati yang sedang di landa perasaan cinta. Ratna hanya diam, keanehan terjadi padanya. Keceriaannya hilang dan berganti pipi-pipi yang merona merah, menahan malu. Betapa yang bertanya di hadapannya adalah pemuda yang ia kagumi. “Ratna…”. “Ya kakang…”. Ia menengadah. “Terimakasih minumannya. Aku kembali ke rumah dulu, sepertinya matahari sebentar lagi sore. Aku tak bisa berlama-lama denganmu.” Ucapnya berdiri hendak berlalu “Kang…” Ratna berdiri mengamit tangan Harya, menggenggamnya. Ia menatap mata Harya dalam-dalam, seolah ingin menjebur ke dalam samudera hatinya, betapa pemuda ini telah membuat hatinya bagai taman indah, ingin ia menggenggam rasa itu dan menjaganya, ia ingin terus bersama Harya. “A…ku”, Harya diam dan melepaskan genggaman Ratna, berlalu meninggalkan Ratna yang masih terpaku. Sepanjang perjalanan pulang, tak lepas-lepas ingatan akan genggaman erat barusan yang seakan tak mau kehilangan dirinya. Juga tatapan tajam yang menyiratkan banyak makna. Pemuda itu tergetar hatinya, belum pernah ia merasakan hal seperti ini. Terbiasa hidup di lereng gunung, jarang melihat wanita cantik, membuatnya merasa Ratna adalah wanita paling rupawan yang pernah ia kenal. Ia malah berpikir untuk cepat-cepat melamar gadis itu. Tak rela jika sampai di dahului orang lain. Tapi semua itu akan mendapat batu sandungan besar, ia tak punya uang banyak untuk melamar Ratna, tak punya rumah yang bisa menjadi tempat tinggalnya sementara waktu ketika pengantin baru. Tak mungkin ia tinggal di rumah sempit, lereng Meru, bersama kakek, yang sudah terlalu banyak ia repotkan. Jika ia punya orang tua, mungkin ia bisa tinggal di rumah orang tuanya. Sejak kecil ia hidup di lereng Meru. Tak pernah ia bertemu orang lain di lereng itu, hanya ada mereka berdua. Kakekpun tak pernah bercerita banyak tentang orang tuanya, sampai saat ini, saat ia berumur 24 tahun. Seingatnya, kakek hanya pernah bercerita bahwa orang tuanya masih hidup. Tapi tak tahu dimana?. “Uhf….” Harya mendengus, melepaskan semua sesak di dada. Jika teringat tentang orang tuanya, ia merasa bosan hidup, untuk apa hidup? Ia adalah anak haram. Tak berguna untuk hidup, apalagi keinginannya untuk kawin, punya anak, keluarga yang bahagia. Mimpi!! Ia tak pantas kawin dengan wanita baik-baik. Apalagi seperti Ratna permanasari, gadis rupawan. Ia pantasnya kawin dengan gundik-gundik desa. Punya anak yang juga hina, keluarga hina, dan akan menjadi cemoohan warga. Tapi untungnya ia hidup di tempat sunyi, tak banyak yang tahu, tentang jati dirinya. Termasuk Ratna.***Semua pasti berganti dan berubah, musim kemarau usai, dan berganti musim hujan, kali-kali kembali tumpah ruah dengan air, sawah-sawah di airi, tetumbuhan tumbuh menghijau menyejukkan mata. Begitupun dengan Harya dan Ratna, semakin hari semakin bertambah subur benih-benih cinta di antara mereka. Sering mereka bertemu, tak hanya saat Harya pulang dari mencari kayu bakar, tapi juga saat Ratna pulang dari sawah, saat latihan menari, juga saat berkumpul di-balai desa. Pun saat ini, duduk di ruang tengah, mereka berdua sambil bercengkrama, cerita apa saja. Tertawa bahagia. Sangatlah berbeda dengan suasana bilik sebelah, di mana Lastri terdiam, beku, kaku, dengan rembesan air mata deras mengucur dari kelopak matanya. Sudah tahu ia hubungan adik dan pemuda itu, namun seringkali Harya berkunjung di rumahnya, tak pernah bibinya memberi ijin keluar atau pura-pura mengeluarkan jajanan dan minuman untuk mereka. Ia hanya bisa melihat Harya dari sudut-sudut bolong bilik kamarnya. Mendengar gelak tawa adiknya dengan seorang pemuda yang tak di pungkiri lagi, ia pun mencintainya. Hatinya di landa cemburu. Tak tahan, Lastri beranjak ke meja rias, menatap wajahnya yang sembab air mata. Hidung, pipi, juga rambutnya yang hitam lurus , legam karena selalu di olesi minyak kelapa. Ia usap sisa air mata yang masih menggenang di pelupuknya. Mengambil secarik kertas dan pena, menulis sebuah surat. Selesai dengan tulisannya, berseru kecil ia ke bilik sebelah, tempat bibi emongnya tidur. Sengaja di buat demikian , biliknya bersebelahan dengan bilik itu, biar sewaktu-waktu semua kebutuhannya bisa cepat terpenuhi. Melalui jendela yang ada ia berseru “Bi..kemari…!!”. “Ada apa nduk…?” “Tolong bibi kasihkan surat ini ke pemuda yang ada di ruang tengah itu.”. “T..api” “Tolong bi…, bibi tidak ingin melihat saya tersiksa kan?” Lastri memelas. Tak tahan wanita tua itu melihatnya, tak boleh wanita secantik dia menangis sedih. Tak pantas, seharusnya gadis secantiknya tertawa ceria, selalu di liputi kebahagiaan. “Baiklah nduk…” wanita tua itu mengalah, Sepulang dari bertemu dengan Ratna, bergegas Harya untuk segera pulang, ke rumahnya di lereng Meru, desa Ratus. Ia harus sampai di sana sebelum senja. Kasihan kakek yang sudah renta harus menyalakan lampu-lampu teplok sendiri. Saat menuruni jalanan menanjak di antara pohon-pohon bambu dan di bawahnya aliran kali mengalir, sayup-sayup ia mendengar suara seseorang memanggil. “Nak…tunggu…!!”. Ia berbalik, perempuan tua berlari ke arahnya, wajah perempuan itu tampak lelah, sedikit keringat bermunculan di keningnya. “Ada apa bu?”, “Ini nak, ada titipan surat…”. “Dari siapa bu?”, “Nanti akan tahu sendiri, ya udah nak, tak tinggal dulu. Masih ada kerjaan di rumah” wanita tua itu berbalik kembali. Malamnya, saat di angkasa bulan terlihat separuh. Dan lereng Meru sepi dengan malam, kakek sudah terlelap sejak lolongan anjing yang pertama. Sesepi itu Harya terduduk di tepian ranjang yang terbuat dari bambu, di depan rumah menghadap lereng. Surat titipan itu masih rapat, belum terbuka. Sengaja ia hendak membacanya malam hari, setelah semua pekerjaannya rampung. Surat berkertas putih itu, hanya di lipat sederhana menyerupai bentuk jajar genjang. Ia buka dan mulai membacanya.Harya…tak usah bingung, dengan aku yang sudah mengenalmu. Aku melihatmu pertama kali saat bepapasan sepulang aku mencuci di kali. Tahukah kau, jika dengan sifatmu yang acuh itu, walau awalnya aku merasa sakit, namun tak bisa aku lupa akan hal itu. Pandangan yang menyiratkan bahwa kau tak berhasrat untuk mengawiniku…menunjukkan kau tak silap dengan apa yang tampak di lahir saja. Harya…atas nama gadis kembang desa Watu Gunug, aku ingin bertemu denganmu, esok sebelum matahari beranjak sepertiga bumi…temui aku di kali…karena hanya waktu itulah aku bisa keluar dari rumah. Lastri***Seperti yang telah biasa di lakukan Lastri, saat angkasa di sepuh dengan warna-warna sejuk, dan matahari belum sempurna berkelindan di ufuk timur, ia sudah sibuk bermain air di kali. Kali ini ia tidak membawa tanggok yang biasa untuk membawa cucian. Ia hanya membawa minyak kelapa, rendaman daun sirih dan melati, sebagai peralatan mandi. Serta jarik yang di gunakan mengeringkan badan. Sesekali diantara kesibukannya menyibak-nyibak air, matanya menatap perbukitan, dimana jalan yang biasa di lalui orang-orang. Namun sampai lelah ia menunggu tak jua ia menemukan apa yang ia cari. Matahari hampir separuh hari, panasnya kini sudah terasa lumayan terik, udara yang berhembus dari perbukitan membawa hawa panas dan membakar kulit. Ikan-ikan di dalam airpun kini tampak bersembunyi di balik lumut atau batu-batu yang ada di dasar kali. Semua berusaha menghindar dari panasnya matahari. Tapi berbeda dengan Lastri, ia masih asyik bermain air, mengalirkan ke lengan putihnya, leher, meresapi kesegarannya, rambutnya yang panjang pun tampak semakin indah di gerai air kali, menjuntai-juntai di kulit bahunya yang kuning langsat. “Lastri…” tiba-tiba suara seseorang mengagetkan lamunannya. Ia berbalik menuju arah sumber suara. Seorang pemuda tampak menuruni perbukitan menuju ke arahnya. “Harya udayana…” desis Lastri, Lastri menyambut tangan Harya, menuntunya untuk duduk di jamban kali, menjulurkan kaki ke dalam air, dan merasakan kesegarannya. Tangan mereka masih bergenggaman erat. “Lastri, ada perlu apa?” “Harya…aku mencintaimu, maukah kau mengawiniku?” jelas dan lancar Lastri berucap demikian, berbeda dengan Ratna dan perempuan-perempuan lainnya, yang harus berpikir beribu kali dan malu-malu untuk mengucapkannya. Harya tak menjawab. Ia belum yakin dengan wanita di hadapannya, apa benar dia Lastri? Gadis kembang desa Watu Gunug. Apa jadinya jika ada warga yang tahu ia berdua dengan gadis yang mereka anggap gadis suci. “Aku menyerahkan jiwa raga untukmu” rajuk Lastri sambil melepas kemben penutup tubuhnya. Harya membisu, beku dengan apa yang ada di depannya. Pun saat tangan Lastri bergerak menuntun tangannya, bibir berpagut, kemudian saling bergumul. Batang-batang bambu berdesir malu di sapu angin, angkasa bersih tak berawan hanya sedikit burung-burung Pondang berkicau menertawakan di pucuk-pucuk pohon jati. Ikan-ikan Pari berseliweran di air berkejaran dengan pasangannya, setelah kena, mereka sembunyi di balik lumut, saling beradu mulut dan kemudian seliweran lagi di riak-riak air kali yang mengalir.***Warga mengekang Lastri, gadis yang sepantasnya hidup bahagia dengan anugerah kecantikan yang ada padanya. Mereka melarangnya agar tidak sembarang bergaul, mengurungnya di rumah. Layaknya sebuah barang antik yang hanya bertangan bersih, wangi dan orang kaya yang bisa memegangnya. Lastri bingung dengan apa yang ia rasakan. Tak tahan melihat adiknya bermesraan dengan pemuda yang juga ia cintai, akhirnya ia kalap, hingga akhirnya ia lampiaskan semua hasrat yang sudah lama terpendam. Terus ia melakukannya, setiap waktu, setiap ada kesempatan. Tak ada yang bisa mencegahnya. Warga desa dan ki Suriamenggala masih berharap dengan kecantikan Lastri. Mereka yakin dengan kecantikan yang di milikinya desanya akan ikut terpengaruh dan punya wibawa di mata desa-desa sekitar. Sehingga melihat perubahan pada Lastri, mereka tetap diam tak melakukan tindakan, apalagi mencegah. Kekuatan adat juga saat itu terasa tak bertuah, arwah-arwah kembang desa yang telah bersemayam di kuburan desa membiarkan Lastri melakukan perbuatan itu. Padahal sebelum-sebelumnya, setiap kembang desa yang belum di ambil lelaki kaya, pasti di jaga kesuciannya oleh arwah–arwah leluhur. Tapi tak tahu kenapa saat ini tidak. Mungkin karena semasa hidup sebenarnya mereka juga tak rela dengan pemaksaan adat, sehingga alih-alih membiarkan kejadian di kali itu untuk dijadikan pelajaran bagi warga desa Watu Gunug. “Ini kehendak dari leluhur-leluhur kembang desa yang telah bersemayam, mereka mau mengajarkan Lastri untuk bisa bersikap baik kepada semua warga kampung kita. Kelak nantinya jika sudah mempunyai lelaki kaya dan hidup enak” ucap ki Suriamenggala. Bagaimana dengan Harya? Bukankah ia dahulu sangat santun dengan wanita? Dan tak berhasrat dengan kecantikan Lastri? Itu hanya tipu muslihat untuk menarik hati Lastri. Harya anak haram, ia lahir dari perbuatan hina, ia adalah anak hina, sekarang ia membawa Lastri untuk bisa menemaninya di lembah kenistaan itu. Ia ingin tak hanya dia yang hidup dalam cemoohan, ia mengajak turut serta Lastri dalam kenistaan itu. Tak hanya dengan dirinya, tapi juga dengan pemuda-pemuda desa Watu Gunug, Lastri kini menjadi gadis yang semua pemuda bisa merasakan tubuhnya dengan mudah. “Ratna!!” Harya berseru mencoba mengejar Ratna. Siang itu ketika Harya ke rumah Ratna. Dia tak perduli, terus menutup pintu rumah, membiarkan Harya di luar yang masih mengucapkan kata-kata cinta berusaha menyakinkan hatinya. Ratna menangis, hatinya remuk redam setelah mendengar kabar bahwa pemuda yang ia cintai selingkuh dengan kakaknya. Orang tua mereka sudah renta, tak mampu berbuat banyak, hanya duduk di amben, meratapi melihat tingkah anak mereka. Warga yang dulu dengan senang hati merelakan tenaga membantu di rumah mereka, kini sudah tidak lagi. Semua tak ada yang bisa di harapkan. Kecantikan Lastri berbuah malapetaka.*** lima bulan berlalu… Suatu malam, saat banyak wanita berkumpul di balai desa. Tak seperti biasanya, jika malam sebelumnya hanya ada Ratna di antara mereka, kini duduk seorang wanita yang sangat cantik. Tak salah, ia adalah Lastri. Di sampingnya Harya dan beberapa pemuda ikut berkumpul. Malam itu awal mula balai desa menjadi ajang pemuasan nafsu mereka. Ratna yang sedang patah hati, pun kalap, ia mengikuti jejak kakaknya. Watu Gunug kini menjadi desa yang ramai dan meriah. Setiap malam, banyak wanita-wanita cantik yang melampiaskan hawa nafsu bercengkrama di balai desa, desa itu terkenal sebagai tempat memburu kenikmatan bejat, sesat. Makin hari, banyak gadis-gadis dari desa sekitar yang berpindah ke desa itu, berjualan, sekedar memanfaatkan keramaian atau juga pindah tempat untuk ikut merasakan keramaian. Kabar desa Watu Gunug cepat meluas ke desa-desa lain, hingga banyak saudagar kaya yang berkunjung di daerah itu, ingin juga merasakan kenikmatan yang ditawarkan gadis-gadis desa. Tak tahu siapa yang salah. Semua telah terjadi. Daun-daun bambu yang telah bersemayam di tanah tidaklah mungkin bisa kembali bergantungan pada tangkainya seperti semula. Hanya bisa berharap tumbuh daun-daun muda yang akan memberikan cerita baru.

Perempuan Ini Memilih Tinggal di Kuburan Keramat



Perempuan Ini Memilih Tinggal di Kuburan Keramat  
Sriatun, 56 tahun, janda tiga anak  di Desa Doropayung RT 08 RW 03, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, sudah hampir satu bulan tinggal di kompleks makam Baruklinting. Makam ini dikeramatkan warga setempat. Makam berukuran 4x4 meter ini terletak di ruang terbuka. Agar dapat ditempati ketiga putranya itu, ia menyekatnya dengan kain dan almari pakaian.

Karena keterbatasan tempat, Sriatun terpaksa tinggal di luar. Tempat tinggal Sriatun yang baru itu berada di tepi bantaran Sungai Juwana, yang beberapa waktu lalu selesai dinormalisasi oleh pemerintah. “Untuk tinggal sementara di tempat ini, saya sudah seizin warga dan kepala desa,” kata Sriatun, Selasa, 1 Januari 2013.

Malam yang dingin dan hujan yang hampir tiap hari mengguyur tak menjadi rintangan bagi Sriatun dan ketiga anaknya. Gigitan nyamuk kebun dan suara berisik hewan malam mereka nikmati dengan pasrah. Sebenarnya, sebelum Sriatun menjatuhkan pilihan tinggal di kompleks makam, para tetangganya sudah menyarankan agar tinggal bersama di rumah mereka. Nmun Sriatun menolak karena takut menambah beban tetangga.

Ia tinggal bersama tiga anaknya yang sudah tidak sekolah lagi: Arif Suprianto, 25 tahun, kini sedang sakit liver, Ani Puspitasari (16), dan Novitasari (13). Untuk bertahan hidup, di rumah daruratnya, Sriatun tetap menjual lontong tahu, seperti kebiasaan sebelum terkena gusur. “Saya tetap menunggu rumah pengganti yang dijanjikan pemerintah,” kata Sriatun.
Proyek pengerukan Sungai Juwana, membuat Sriatun dan ketiga anaknya harus tinggal sementara di makam keramat. Rumahnya yang ada di bantaran sungai, yang ia beli Rp 7 juta dan sudah ditempati belasan tahun, terkena gusur normalisasi sungai. Nasib serupa juga menimpa 83 warga yang sama-sama tinggal di bantaran sungai. Setiap pemilik rumah hanya mendapat tali asih dari pemerintah Pati Rp 1 juta sebagai ganti rugi pembongkaran rumah. Mereka tersebar di empat desa, yakni Desa Doropayung (54 rumah), Bumirejo (20 rumah), Tluwah (3 rumah), dan Jepuro (6 rumah), semuanya di Kecamatan Juwana. “Setiap warga yang merelakan rumahnya dibongkar, memperoleh tali asih Rp 1 juta,” kata Tono, Sekretaris Desa Doropayung, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati.Ketika Bupati Pati Haryanto memberikan uang tali asih awal Desember lalu, ia menjanjikan warga yang rumahnya tergusur itu akan diikutkan dalam program rumah layak huni dari Kementerian Perumahan Rakyat. “Sedangkan soal relokasi, sedang dicarikan solusi dengan diikutkan program rumah layak huni Kementerian Perumahan Rakyat,” kata Haryanto seusai penyerahan uang tali asih.Hingga kini, solusi itu belum terwujud. “Kami sudah tiga minggu tinggal menumpang di rumah orang karena sampai sekarang rumah yang dijanjikan belum jelas,” kata Supriyadi, 57 tahun, warga Desa Doropayung, yang rumahnya juga digusur. Masih ada warga yang menumpang di rumah tetangganya yang jauh dari bantaran sungai. Mereka tidak memiliki biaya untuk membangun rumah.

sejarah kota pati dan juwana


JUWANA KOTA PESISIR


Juwana merupakan kota kecil bagian dari Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kota Pesisir di Pantai Utara Jawa ini merupakan daerah transit dengan mobilitas yang sangat tinggi. Juana menghubungkan kota Patidan kota Rembang. Sebagai kota transit yang dilewati Jalan Pos Daendels Anyer - Panarukan, Juwana memiliki budaya khas pesisir yang kental dengan heterogenitasnya. Kota Juwana merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten Pati setelah Pati. Di kota ini terkenal dengan industri kerajinan kuningan dan pembudidayaan bandeng. Sejarah Kota Juwana tak lepas dari sejarah berdirinya Kadipaten Pesantenan atau yang kemudian hari dikenal dengan nama Kabupaten Pati.


Sejarah Pati

Sejarah Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa gambar yang terdapat pada Lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu Gambar yang berupa: "keris rambut pinutung dan kuluk kanigara". Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab Babat Pati dan kitab Babat lainnya dua pusaka yaitu "keris rambut pinutung dan kuluk kani" merupakan lambang kekuasan dan kekuatan yang juga merupakan simbul kesatuan dan persatuan.
Barangsiapa yang memiliki dua pusaka tersebut, akan mampu menguasai dan berkuasa memerintah di Pulau Jawa. Adapun yang memiliki dua pusaka tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan Kadipaten Carangsoka.

Kevakuman Pemerintahan di Pulau Jawa

Menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1292 Masehi di Pulau Jawa vakum penguasa pemerintahan yang berwibawa. Kerajaan Pajajaran mulai runtuh, Kerajaan Singasarisurut, sedang Kerajaan Majapahit belum berdiri.
Di Pantai utara Pulau Jawa Tengah sekitar Gunung Muria bagian Timur muncul penguasa lokal yang mengangkat dirinya sebagai adipati, wilayah kekuasaannya disebutkadipaten.
Ada dua penguasa lokal di wilayah itu yaitu. 1. Penguasa Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama Yudhapati, wilayah kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai pegunungan Gamping Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan. Mempunyai putra bernama Raden Jasari. 2. Penguasa Kadipaten Carangsoka, Adipatinya bernama: Puspa Andungjaya, wilayah kekuasaannya meliputi utara sungaiJuwana sampai pantai Utara Jawa Tengah bagian timur. Adipati Carangsoka mempunyai seorang putri bernama Rara Rayungwulan

Kadipaten Carangsoka dan Paranggaruda Berbesanan

Kedua Kadipaten tersebut hidup rukun dan damai, saling menghormati dan saling menghargai untuk melestarikan kerukunan dan memperkuat tali persaudaraan, Kedua adipati tersebut bersepakat untuk mengawinkan putra dan putrinya itu. Utusan Adipati Paranggaruda untuk meminang Rara Rayungwulan telah diterima, namun calon mempelai putri minta bebana agar pada saat pahargyan boja wiwaha daup (resepsi) dimeriahkan dengan pagelaran wayang dengan dalang kondang yang bernama "Sapanyana".
Untuk memenuhi bebana itu, Adipati Paranggaruda menugaskan penggede kemaguhan bernama Yuyurumpung agul-agul Paranggaruda. Sebelum melaksanakan tugasnya, lebih dulu Yuyurumpung berniat melumpuhkan kewibawaan Kadipaten Carangsoka dengan cara menguasai dua pusaka milik Sukmayana di Majasemi. Dengan bantuan uSondong Majerukn kedua pusaka itu dapat dicurinya namun sebelum dua pusaka itu diserahkan kepada Yuyurumpung, dapat direbut kembali oleh Sondong Makerti dari Wedari. Bahkan Sondong Majeruk tewas dalam perkelahian dengan Sondong Makerti. Dan Pusaka itu diserahkan kembali kepada Raden Sukmayana. Usaha Yuyurumpung untuk menguasai dan memiliki dua pusaka itu gagal.
Walaupun demikian Yuyurumpung tetap melanjutkan tugasnya untuk mencari Dalang Sapanyana agar perkawinan putra Adipati Paranggaruda tidak mangalami kegagalan (berhasil dengan baik).
Pada Malam pahargyan bojana wiwaha (resepsi) perkawinaan dapat diselenggarakan di Kadipaten Carangsoka dengan Pagelaran Wayang Kulit oleh Ki Dalang Sapanyana. Di luar dugaan pahargyan baru saja dimulai, tiba-tiba mempelai putri meninggalkan kursi pelaminan menuju ke panggung dan seterusnya melarikan diri bersama Dalang Sapanyana. Pahargyan perkawinan antara " Raden Jasari " dan " Rara Rayungwulan " gagal total.
Adipati Yudhapati merasa dipermalukan, emosi tak dapat dikendalikan lagi. Sekaligus menyatakan permusuhan terhadap Adipati Carangsoka. Dan peperangan tidak dapat dielakkan. Raden Sukmayana dari Kadipaten Carangsoka mempimpin prajurit Carangsoka, mengalami luka parah dan kemudian wafat. Raden Kembangjaya (adik kandung Raden Sukmayana) meneruskan peperangan. Dengan dibantu oleh Dalang Sapanyana, dan yang menggunakan kedua pusaka itu dapat menghancurkan prajurit Paranggaruda.Adipati Paranggaruda, Yudhapati dan putera lelakinya gugur dalam palagan membela kehormatan dan gengsinya.
Oleh Adipati Carangsoka, karena jasanya Raden Kembangjaya dikawinkan dengan Rara Rayungwulan kemudian diangkat menjadi pengganti Carangsoka. Sedang dalang Sapanyana diangkat menjadi patihnya dengan nama " Singasari ".

Kadipaten Pesantenan

Untuk mengatur pemerintahan yang semakin luas wilayahnya ke bagian selatan, Adipati Raden Kembangjaya memindahkan pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa Kemiri dengan mengganti nama " Kadipaten Pesantenan dengan gelar " Adipati Jayakusuma di Pesantenan.
Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra tunggal yaitu " Raden Tambra ". Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat menjadi Adipati Pesantenan, dengan gelar " Adipati Tambranegara ". Dalam menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara bertindak arif dan bijaksana. Menjadi songsong agung yang sangat memperhatikan nasib rakyatnya, serta menjadi pengayom bagi hamba sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan kerukunan, kedamaian, ketenangan dan kesejahteraannya semakin meningkat.

Kabupaten Pati

Untuk dapat mengembangkan pembangunan dan memajukan pemerintahan di wilayahnyaAdipati Raden Tambranegara memindahkan pusat pemerintahan Kadipaten Pesantenan yang semula berada di desa Kemiri menuju ke arah barat yaitu, di desa Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kadipaten Pati.
Dalam prasasti Tuhannaru, yang diketemukan di desa Sidateka, wilayah Kabupaten Majakerta yang tersimpan di musium Trowulan. Prasasti itu terdapat pada delapan Lempengan Baja, dan bertuliskan huruf Jawa kuna. Pada lempengan yang keempat antara lain berbunyi bahwa : ..... Raja Majapahit, Raden Jayanegara menambah gelarnya dengan Abhiseka Wiralanda Gopala pada tanggal 13 Desember 1323 M. Dengan patihnya yang setia dan berani bernama Dyah Malayuda dengan gelar "Rakai", Pada saat pengumuman itu bersamaan dengan pisuwanan agung yang dihadiri dari Kadipaten pantai utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk Raden Tambranegara berada di dalamnya.

Pati Bagian dari Majapahit

Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui wilayah kekuasaan para Adipati itu dengan memberi status sebagai tanah predikan, dengan syarat bahwa para Adipati itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti berupa bunga.
Bahwa Adipati Raden Tambranegara juga hadir dalam pisuwanan agung di Majapahit itu terdapat juga dalam Kitab Babad Pati, yang disusun oleh K.M. Sosrosumarto dan S.Dibyasudira, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1980. Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada : 12 yang lengkapnya berbunyi : ..... Tan alami pajajaran kendhih, keratonnya ing tanah Jawa angalih Majapahite, ingkang jumeneng ratu, Brawijaya ingkang kapih kalih, ya Jaka Pekik wasta, putra Jaka Suruh, Kyai Ageng Pathi namaRaden Tambranegara sumewa maring Keraton Majalengka.
Artinya Tidak lama kemudian Kerajaan Pajajaran kalah, Kerajaan Tanah Jawa lalu pindah ke Majapahit, adapun yang menjadi rajanya adalah Brawijaya II, yaitu Jaka Pekik namanya, putranya Jaka Suruh. Pada waktu itu Kyai Ageng Pati, yang bernamaTambranegara menghadap ke Majalengka, yaitu Majapahit.
Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati turut serta hadir dalam pisowanan agung di Majapahit. Pisowanan agung yang dihadiri oleh Raden Tambranegara ke Majapahit pada tanggal 13 Desember 1323, maka diperkirakan bahwa pindahnya Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa Kaborongan dan menjadi Kabupaten Pati itu pada bulan Juli dan Agustus 1323 M (Masehi). Ada tiga tanggal yang baik pada bulan Juli dan Agustus 1323 yaitu : 3 Juli7 Agustus dan 14 Agustus 1323.

Hari Jadi Pati

Kemudian diadakan seminar pada tanggal 28 September 1993 di Pendopo Kabupaten Pati yang dihadiri oleh para perwakilan lapisan masyarakat Kabupaten Pati, para guru sejarah SMA se Kabupaten Pati, Konsultan, Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah UNDIP Semarang, secara musyawarah dan sepakat memutuskan bahwa pada tanggal 7 Agustus 1323 sebagai hari kepindahan Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke Desa Kaborongan menjadi Kabupaten Pati.
Tanggai 7 Agustus 1323 sebagai HARI JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor : 2/1994 tanggal 31 Mei 1994, sehingga menjadi momentum Hari Jadi Kabupaten Pati dengan surya sengkala " KRIDANE PANEMBAH GEBYARING BUMI " yang bermakna " Dengan bekerja keras dan penuh do'a kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah ". Untuk itu maka setiap tanggal 7 Agustus 1323 yang ditetapkan dan diperingati sebagai "Hari JadiKabupaten Pati".

Geografi Juwana

Batas-batas kota Juwana:
Merupakan daerah pesisir dan dataran rendah dengan tanah berjenis aluvial dan red yelloy mediteran. Kota ini juga dilalui oleh sungai Juwana (disebut juga sungai Silugonggo) yang menjadi daerah aliran sungai waduk Kedungombo. Sungai terbesar di Kabupaten Pati ini tiap tahun mengakibatkan banjir termasuk di kota Juwana. Luas wilayah kecamatan Juwana adalah 5.593 ha (55,93 km²)

Demografi Juwana

Jumlah penduduk kecamatan Juwana sebanyak 87.484 jiwa (2006) yang terdiri atas 43.565 jiwa laki-laki dan 43.919 jiwa penduduk perempuan. Mayoritas penduduk kecamatan Juwana bermata pencarian sebagai petani, nelayan dan buruh.
Kecamatan ini mempunyai banyak lapangan kerja. Hal yang menjadi ciri khas kecamatan Juwana adalah usaha kerajinan logam kuningan yang sebagian besar terdapat di desaGrowonglor dan sekitarnya, serta usaha tambak perikanan di desa Bajomulyo,Agungmulyo dan desa-desa sekitarnya. Dua perusahaan kuningan terbesar dari kota Juwana adalah Krisna & Sampurna.
Kota Juwana juga merupakan kota industri. Pabrik Rokok Djarum mempunyai cabang produksi di Kota Juwana, dan juga Pabrik Rokok Tapel Kuda, yang merupakan salah satu pabrik rokok tertua di Indonesia, basis produksi nya berada di kota Juwana. Selain Pabrik Rokok, kota Juwana juga memiliki pabrik minyak kacang.
Pelabuhan Juwana menjadi salah satu tulang punggung kekuatan perekonomian kecamatan Juwana. Pelabuhan ini menjadi salah satu pintu masuk kapal-kapal pengangkut kayu dari Kalimantan. Hasil tambak maupun tangkapan nelayan yang didapat antara lain: bandeng, udang, tongkol, kakap merah, kepiting, ikan pe, cumi, dan kerapu.

Desa/kelurahan di Juwana

Kecamatan Juwana terdiri atas 29 desa yang terdiri atas 87 Rukun Warga (RW) dan 362Rukun Tetangga (RT). Desa-desa tersebut yaitu:

Pendidikan di Juwana

Kecamatan Juwana memilikibanyak lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Lembaga pendidikan itu antara lain:

Tokoh dari Juwana

Kwik Kian Gie adalah tokoh nasional kelahiran Juwana.

Warisan Leluhur Yang Selalu Terjaga

Kota Juwana merupakn kota di pesisir utara Pulau Jawa yang terletak di jalur pantura yang menghubungkan kota Pati dan kota Rembang. Kota Juwana merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten Pati setelah Pati. Di kota ini terkenal dengan industri kerajinan kuningan dan pembudidayaan bandeng. Batas-batas kota Juwana:                   

* Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Batangan.
* Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Jakenan dan kecamatan Pati.
* Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Wedarijaksa.
Juwana merupakan daerah pesisir dan dataran rendah dengan tanah berjenis aluvial dan red yelloy mediteran. Kota ini juga dilalui oleh sungai Juwana (disebut juga Sungai Silugonggo) yang menjadi daerah aliran sungai Waduk Kedungombo. Sungai terbesar di Kabupaten Pati ini tiap tahun mengakibatkan banjir termasuk di Kota Juwana. Luas wilayah Kecamatan Juwana adalah 5.593 ha (55,93) km2.
Jumlah penduduk Kecamatan Juwana sebanyak 87.484 jiwa (2006) yang terdiri atas 43.565 jiwa laki – laki dan 43.919 jiwa penduduk perempuan. Kecamatan ini mempunyai banyak lapangan kerja. Hal yang menjadi ciri khas Kecamatan Juwana adalah usaha kerajinan logam kuningan yang sebagian besar terdapat di Desa Growong Lor dan sekitarnya, serta usaha tambak perikanan di Desa Bajomulyo, Agungmulyo dan desa – desa sekitarnya. Dua perusahaan kuningan terbesar dari kota Juwana adalah Krisna & Sampurna. Pelabuhan Juwana menjadi salah satu tulang punggung kekuatan perekonomian Kecamatan Juwana. Pelabuhan ini menjadi salah satu pintu masuk kapal – kapal pengangkut kayu dari Kalimantan. Hasil tambak maupun tangkapan nelayan yang didapat antara lain: bandeng, udang, tongkol, kakap merah, kepiting, ikan pe, cumi.
Selain hal diatas, Juwana juga dikenal sebagai icon budaya dan sejarah di Kabupaten Pati. Banyak sekali kisah dan peninggalan sejarah serta kebudayaan yang tetap hidup dan melekat erat di hati masyarakat hingga kini. Salah satunya adalah kegiatan Ruwatan. Ruwatan yang akan dibahas pada kali ini adalah Ruwatan dalam perspektif budaya. Didalam kegiatan gelar budaya ruwatan terkandung nilai sosial, edukatif, rasa kebersamaan dalam banyak ragam perbedaan. Dan pemberdayaan terhadap nilai – nilai potensi sumberdaya, kreatifitas manusia serta ikut melestarikan budaya bangsa khususnya budaya Ruwatan. Ruwatan mengandung makna mengevaluasi diri atas segala kesalahan yang disadari maupun tidak disadari dimasa yang telah lalu. Sehingga dalam acara Ruwatan mrmiliki makna untuk membersihkan diri, tidak hanya sekedar pembersihan lahir, lebih utama adalah membersihkan batin, membersihkan sengkala (penghalang diri) dan sukerta (kotoran dalam diri). Yang berakibat sering mengalami sial karena sengkolo dan sukerto. Maksud diadakannya ruwatan ini adalah untuk meringankan beban peserta sukerto yang mampu maupun tidak mampu, yang tidak dapat melaksanakan sendiri. Artinya ruwatan dilakukan untuk meringankan beban masyarakat. Tujuan pokok ruwatan, adalah untuk membuang kesialan hidup orang – orang yang sedang dalam sukerta (susah). Orang – orang sukerta ini, menurut cerita dalah orang – orang yang akan dimangsa oleh Bathara Kala sebagai kekuatan penyeimbang hukum alam, karena orang – orang sukerta tidak selaras atau harmonis dengan hukum alam yang sngat adil (prinsip Tuhan yang Mahaadil). Dengan kata lain, para sukerta mengalami suatu peristiwa tidak sengaja, dan perbuatan yang disengaja yang tidak sesuai dengan kodrat alam yang semestinya. Prosesi spiritual ruwatan, juga sebagai upaya pelestarian tradisi dan budaya nenek moyang masyarakat Jawa yang sudah turun temurun ribuan tahun silam. Sebagai khasanah pelestarian kekayaan ragam budaya di tanah air. Ruwatan masih merupakan bagian dari prosesi adat Jawa. Ruwatan itu adalah prosesi penyucian diri seorang manusia agar kelak dirinya terbebas dari malapetaka. Tapi hanya orang – orang tertentu yang menyandang predikat Sukerta saja yang diwajibkan untuk diruwat.asal muasal prosesi ruwatan diceritakan dalam kisah pewayangan lakon Murwakala, yaitu lahirnya Bathara Kala.
Selain itu di suatu desa di Juwana terdapat suatu kebudayaan dimana penduduk asli desa itu yang masih gadis diharamkan untuk memakai pakaian warna hijau pupus. Konon katanya apabila kita memakai pakaian warna itu dapat mendatangkan pamali bagi yang memakainya. Tradisi ini juga sudah turun temurun dari nenek moyang terdahulu.
Dalam suatu desa biasanya kita mengenal yang namanya sesepuh Desa. Sesepuh Desa bisa dikatan sebagai pelopor berdirinya desa itu atau bisa dikatakan sebagai pendiri desa. Dahulu kala sesepuh Desa Kincir sangat kaya raya karena tanah yang subur sehingga dapat memberikan hasil panen yang melimpah ruah setiap kali panen. Tapi lain halnya dengan desa Kincir, di desa tetangga tanahnya tandus sehingga hasil panen tidak dapat mencukupi kehidupan warga disana. Akhirnya karena terdesak oleh keadaan tersebut, sesepuh desa tetangga akhirnya nekat untuk mengambil hasil panen sesepuh desa Kincir. Namun rupanya Dewi Fortuna sedang tidak berpihak kepadanya, ditengak aksinya mengambil hasil panen tersebut dia tertangkap basah oleh sesepuh desa Kincir dan akhirnya terjadilah perang antar sesepuh desa. Dari kejadian itulah hingga saat ini penduduk asli Kincir tidak boleh menikah dengan penduduk asli Bakaran. Maka jika terjadi pernikahan, pernikahan itu tidak akan awet. Akan ada sanak keluarga yang meninggal, kemungkinan hidupnya miskin, atau bisa juga pasangan pengantin tidak akan mendapatkan keturunan (mandul).
Sedangkan untuk budaya berkomunikasi di Juwana yaitu hampir sama dengan komunikasi di daerah – dearah lainnya. Yakni menggunakan bahasa jawa ngoko jika kita berbicara dengan teman sebaya namun jika kita berbucara dengan orang yang lebih tua dari kita, kita wajib menggunakan bahasa krama. Dilain sisi jika kita bertemu dengan tetangga satu desa di jalan, kita kenal ataupun tidak dengan orang itu kita wajib untuk menyapanya, walau hanya dengan senyuman saja. Karena apabila kita tidak menyapa orang itu, kita akan jadi bahan perbincangan satu desa dan jika di rumah kita ada kondangan ataupun acara maka warga sekitar tidak akan turut membantu.